Reklamasi Pantai: Untuk Siapa?

Opini pada peringatan Hari Bumi Sedunia tahun 2017

Bulan April ini, kota Makassar mulai terasa panas dan kadang gerah pada siang dan malam hari. Hujan yang biasanya membuat jalanan macet, sudah mulai berkurang dan selamat datang debu dan hawa panas. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel yang penulis tampilkan pada hari Bumi setahun lalu (22 april 2016) di harian yang sama. Itulah sebabnya ada angka dua di dalam kurung.  Artikel tahun lalu seiring dengan gugatan Walhi Sulawesi Selatan terhadap Pemerintah Sulawesi Selatan atas reklamasi pantai Makassar melalui PTUN.  Tahun 2017 ini, PTUN Makassar telah mengeluarkan putusan sehubungan dengan gugatan tersebut. Walhi Sulawesi Selatan melalui kuasa hukumnya telah mengajukan kasasi atas putusan PTUN Makassar. Putusan Majelis Hakim PTUN, salah satu diantaranya adalah proyek reklamasi seluas 157,23 ha tidak akan mencemari lingkungan dan tidak merusak ekosistem yang ada di laut, walaupun ada hakim lain yang melakukan decition opinion. Tulisan ini tidak bermaksud untuk melihat dari segi yuridis, tetapi melihat dari segi lain terutama berkaitan dengan bumi sebagai planet satu-satunya dihuni manusia secara berkelanjutan dan memberikan apresiasi terhadap bumi, tempat kita berdiam, memaknai hidup dan kehidupan. Sekaligus untuk memperingati 22 April sebagai  hari Bumi yang diperingati secara internasional.

Peringatan Hari Bumi setiap tanggal 22 April merupakan hasil kerja keras Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan Bumi utara) dan musim gugur di belahan Bumi selatan.

Garis pantai bukan hanya penting bagi penetapan batas laut Negara, tetapi juga batas perlindungan terhadap sumberdaya kelautan yang tersedia. Sumberdaya kelautan ini menjadi bahan utama dalam memenuhi kebutuhan manusia yang mendiami planet bumi ini (2013) sudah mencapai  7,2 milyar  dan diprediksi akan mencapai 10,9 milyar pada tahun 2100. Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai garis pantai sekitar 1.974 km dengan luas wilayah 45.575 km persegi dengan jumlah penduduk sekitar 8 juta jiwa. Kota Makassar mempunyai garis pantai sekitar 52,8 km dengan luas wilayah 175,79 km persegi. Kota Makassar mempunyai garis pantai pesisir sepanjang 36,1 km, dan garis pantai pulau-pulau dan gusung sepanjang 16,7 km dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa.

Provinsi Sulawesi Selatan dengan garis pantai sepanjang itu mempunyai potensi sumberdaya perikanan tangkap yang besar untuk berbagai jenis ikan dengan nilai 620.480 ton/tahun dan 80.072 ton/tahun untuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Potensi perikanan ini akan bertambah besar jika daerah jelajah nelayan kita bertambah. Nelayan mempunyai jelajah semakin meluas, jika di dalamnya terdapat teknologi yang membuat mereka mampu untuk melaut dengan waktu singkat. Teknologi itu bisa berupa kapal motor dengan tonase besar, kapal yang dilengkapi dengan pendingin, dan lainnya. Pertanyaan mendasar adalah bagimana pantai beserta eksositemnya dapat digunakan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia (Rogers, 2007) adalah terjadinya keseimbangan antara pengrusakan yang terjadi dengan biaya yang diperoleh.  Artinya,  kerusakan lingkungan yang terjadi setara dengan manfaat ekonomi yang diperoleh. Namun, perlu dicermati bahwa ekosistem pantai hendaknya dilihat dari tiga pilar penting, yakni ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan sendiri. Secara ekonomi kawasan pantai sangat menjanjikan, tetapi pada saat yang bersamaan ekosistem  pantai selalu mengalami pengaruh internal dan eksternal, baik yang bersifat alami maupun karena aktivitas manusia akan memberikan tekanan bagi dinamika kawasan ini. Faktor alami yang memberikan tekanan adalah gelombang, arus laut, pasang surut, sirkulasi angin, curah hujan, iklim dan aktivitas tektonik maupun vulkanik. Sedangkan aktivitas manusia yang memberikan tekanan pada kawasan pantai adalah kegiatan industri, perikanan pantai, pelabuhan, pertanian, pembangunan rumah sakit, pertambangan, permukiman dan penutupan alur sungai.

Kawasan pantai dari segi sosial budaya adalah tempat di mana masyarakat dalam hal ini nelayan bersama dengan keluarganya berinteraksi. Interaksi antara individu, individu dengan masyarakat, maupun interaksi antara masuarakat nelayan dnegan alam sekitarnya.   Dengan reklamasi yang dilakukan mengakibatkan adanya pembatasan akses warga ke kawasan itu karena dimiliki oleh para investor besar dan pemodal, sehingga hukum ekonomi akan berlaku. Reklamasi yang dilakukan mengakibatkan 45 kk para pencari kerang sudah hilang mata pencaharian. Mereka bisa saja diberikan ganti rugi dan pengalihan lapangan kerja, tetapi bukankah hal ini mencabut mereka dari akar tradisi? Adaptasi terhadap lingkungan baru membutuhkan waktu yang lama dan cost social yang besar dan belum tentu diperhitungkan. Proses transformasi dari satu sistem kehidupan   ke sistem lainnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu, diperlukan usaha terukur dan terencana mencari teknologi baru dalam pemanfaataan kawasan pantai yang selama ini masih terabaikan.

Kawasan pantai dari segi lingkungan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, bagaimana pun akan memberikan dampak yang cukup berarti. Reklamasi pantai berupa penimbunan akan merubah pola arus laut yang selama ini terjadi, Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh penduduk di sekitar pantai Makassar, tetapi akan menimbulkan aberasi di sekitar pantai Takalar dan Gowa.  Bahan timbunan yang digunakan berasal dari ekosistem yang berbeda, sehingga jenis mikroba dan bakteri dalam tanah akan mengalami transformasi ke bentuk lain, Akibatnya, dalam waktu lama proses adaptasi mikroba daratan dengan mikroba pantai sangat panjang dan dapat menimbulkan mutasi gen di dalam air laut. Adaptasinya bisa melewati lintas generasi pada saat para pengambil kebijakan sudah berbeda.  Untuk permukiman, kawasan pantai mulai dilirik pada saat manusia membutuhkan space untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa papan, pangan dan lainnya. Dapat dihitung dan diprediksi bagaimana biota pantai yang pada awalnya damai melakukan proses kehidupannya harus punah karena alasan mensejahterahkan rakyat?

Reklamasi ini membutuhkan biaya besar, sehingga  Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, mengajak pihak ketiga untuk melakukan investasi. Investasi oleh pihak ketiga pasti menghitung nilai ekonomi yang bisa diperoleh. Biaya pengerukan jalur nelayan saja menelan biaya hampir Rp2 M. Dalam jangka pendek, kegiatan reklamasi pantai dari aspek lingkungan secara kasat mata adalah berubahnya fungsi dan tatanan lingkungan berupa pertambakan rakyat, hamparan pasir pantai, kicaunya burung pemakan ikan dan lainnya menjadi hilang. Proses ini tergantikan dengan kawasan ekonomi baru berupa pusat pertokoan, pusat bisnis, hotel, gedung pertemuan yang kesemuanya memberikan dampak pada mobilitas warga masyarakat untuk memperoleh akses. Warga masyarakat memperoleh permukiman baru yang serba mewah dan hanya dapat dinikmati oleh warga dengan penghasilan tinggi dan para mereka yang juga sudah memiliki rumah dan tempat lainnya. Warga dengan penghasilan dibawah rata-rata yang pada umumnya dijadikan alasan untuk ditingkatkan kesejahteraannya akan tetap menjadi penonton yang baik di tempat mereka sendiri.  Proses ini akan berlangsung dengan tahap biasa saja, tetapi dalam jangka panjang akan membutuhkan cost sosial yang lebih besar. Cost sosial ini yang sulit di”rupiah”kan, karena toh, bisa dihitung hanya berupa angka-angka di pendapatan daerah. Warga yang kaya (pengusaha dan koleganya) akan menikmati kumpulan rupiah yang melimpah, sehingga akan meningkatkan pendapatan per kapita penduduk, tetapi warga miskin secara real tetap akan menderita dan akan termarjinalkan.

Reklamasi pantai sejatinya dilakukan sepanjang sesuai dengan UU  Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kegiatan reklamasi pantai hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan segenap kendala dan tantangan terutama untuk meningkatkan manfaat  dan nilai tambah dari aspek teknis, lingkungan dan sosial ekonomi. Ketiga aspek inilah yang merupakan perisai dalam memberdayakan kawasan pantai di mana manusia merupakan faktor penentu di dalamnya yang hendak diberdayakan. Pemberdayaan bukan berarti mencabut mereka dari mata pencaharian utamanya dengan memberikan permukiman dan tempat tinggal berbeda dengan budaya keseharian yang selama ini mereka lakukan.  Reklamasi pantai hendaknya dilakukan dengan hati, bukan hanya sekedar ingin memunculkan ikon agar Makassar menjadi Kota Dunia. Kalau toh, Makassar berubah, maka perubahan itu menuju ke perubahan yang lebih baik berdasarkan hati nurani.

Ditulis oleh Muhammad Arsyad, Dosen Fisika FMIPA UNM dan Peneliti Karst.

Opini ini pertama kali diterbitkan pada tanggal 22 April 2017, bertepatan dengan peringatan “Hari Bumi sedunia” dan telah dimuat di media cetak harian Tribun Timur